I
Want…
Malam
yang sunyi ini, menyertai tangisku didalam kesedihan yang melandaku. Kekasih
yang dulunya aku cintai, lagi dan lagi menyakiti perasaanku. Sejenak ku
berfikir, akankah ku harus membalas kesalahannya terhadapku, ataukah ku harus
menduakan cintanya, agar aku lega telah membalas kesalahannya? Tapi, disisi
lain, aku masih mempercayai, bahwa hukum karma itu berlaku bagi siapapun. Hal
ini yang membuatku harus berfikir dua kali. Bahkan sesering kali, aku melihat
lampu layar di handphone ku. Yang
biasanya selalu hidup pertanda ada pesan darinya yang ikut meramaikan
aktifitasku. Akan tetapi, mungkin malam ini dan seterusnya aktifitasku akan
selalu ditemani oleh hembusan angin malam dan pesan-pesan dari
sahabat-sahabatku yang tidak ada hentinya mensupportku
setelah aku dan dia sepakat mengakhiri hubungan yang telah lama dibina itu.
___
Pagi
hari ini, mentari menyongsong kearah fentilasi yang ada dikamarku. Jam
menunjukkan pukul 7.00 yang harus mengingatkanku untuk segera bergegas bangun
dari bed kamarku. Mata sembab dan rambut yang berantakan. Aku segera bergegas
ke kamar mandi untuk membersihkan badan, tissue yang berserakan di lantai
kamarku belum juga aku bersihkan. Hari ini hari Minggu, aku hanya disiapkan
sarapan di meja makan dan tulisan note kecil bertuliskan
Nisa, maaf Ayah
dan Ibu harus segera ke luar kota sekarang. Itu sudah ada makanan di meja,
jangan lupa buat sarapan.
Akupun
langsung meletakkan selembar kertas itu di atas meja lagi dan langsung
menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh Ibu. Handphone ku berbunyi, pesan masuk dari Cacha salah satu dari
sahabatku,
Sa, jalan-jalan
yuk. Iya itung-itung refreshing aja. Kita main sama Pita sama Dinda kok. Aku
tunggu di taman deket komplekmu jam 8 ya? Sampai ketemu nanti.
Akupun
tersenyum dan terharu melihat sahabat-sahabatku begitu menyayangiku,
memperhatikanku disaat aku lagi terpuruk
seperti ini. Akupun bergegas mengembalikan piring ke dapur dan langsung
bersiap-siap untuk jalan-jalan sama mereka bertiga.
___
Aku
berjalan kaki menuju taman dekat komplek yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
rumahku. Dengan perasaan sedih, tetapi aku akan tetap menampakkan senyumku
didepan mereka. Kulihat seorang gadis melambaikan tangannya ke arahku, iya,
sosok miss cabi Cacha namanya. Dia menyambutku dengan senyum manisnya.
“Hei…”
sapaku.
“Udah
lama nunggu kamu?” lanjutku.
“Oh,
enggak kok, aku juga barusan sampe. Kamu apa kabar? Baik kan?” jawabnya.
Akupun
tersenyum menatapnya lalu menundukkan kepalaku dan setengah mengangguk.
“Kamu… habis nangis ya Nis? Mata kamu
kelihatan bengkak. Ada apa lagi sih? Kok enggak cerita?” ujarnya sambil
mengangkat daguku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum, tapi kali ini aku tersenyum
dengan mata berkaca-kaca menahan tangisku. Tak lama kemudian, Pita dan Dinda
pun datang dengan keceriaan mereka.
“Bonjour miss cabi sama miss lola?” sapa Pita dengan
ketawa uniknya.
“Heiiih,
miss centil nih kebiasaan deh, ngomong pake ketawa segala.” timbrung Dinda.
“Yaudah
yuk, kita berangkat sekarang aja, ntar keburu siang, jadi panas deh. Hehe.”
ajakku kepada mereka, iya trikku saja buat menghambat sebelum air mataku jatuh
didepan mereka, dan aku pikir nanti ada saat tersendiri untuk cerita ke mereka.
“Yoi
miss lola.” jawab Dinda.
Kami
jalan-jalan tak punya arah, akhirnya kami memutuskan untuk mampir ke sebuah
café untuk bersantai dan beristirahat sejenak.
“Kamu
mau pesen apa Nis?” tanya Pita.
“Coklat
panas aja deh.” jawabku.
“Yaudah
mbak, Coklat panasnya empat ya?” pesan Pita kepada pelayan.
Sambil
menunggu pesanan datang, kami berempatpun hanya diam. Tiba-tiba…
“Eh,
Nis. Kamu kenapa? Kok kayaknya galau gitu.”
suara Dinda memulai pembicaraannya.
“Heeei,
iya, kamu tadi belum sempat cerita kan Nis. Ayolah sekarang cerita.” timbrung Cacha.
“Emmm,
aku kangen sama Rangga.” jawabku pelan.
“W-H-A-T???”
kaget mereka bertiga.
“Ih,
apaan deh, kalian ini lebay semua. Udah nih, pesanan datang. Makasih ya mbak?”
ucapku.
“Hmmm,
yaudah deh. Kangen itu wajar, apalagi perhatian dia kekamu dulu, pasti itu
salah satu faktornya. Tapi mau gimana lagi, dia lebih mentingin gebetannya.”
jawab Cacha dengan tegasnya.
“Iya,
kan masih ada kita-kita, iya nggak?” sambung Pita.
“Iya,
walaupun kita berempat jomblo semua, tapi bagi kita, jomblo bukan berarti gak
laku. Iya kannn?” sambung Cacha kembali.
“Eh,
ngomong-ngomong, kenapa panas-panas gini, kita pesan coklat panas ya? Hahaha.”
canda Dinda.
“Namanya
juga lagi galau, Din. Salah pesan lah, gapapa, lagian ini udah agak dingin
kok.” jawabku.
Hahahahahahaha,
canda kita berempat seakan menghilangkan rasa galau yang kualami, ya bukan aku
lagi sih, tapi kita berempat. Hehe.
Tak
terasa langit mulai tambah memanas, dan ini saatnya kita shopping, ya itung-itung ngadem didalam mall, walaupun dompet
kembang kempis ataupun cuman beli secangkir es aja. Haha. Di dalam mall pun,
kami melihat banyak kaum Adam disana. Tapi kami masih trauma dan takut akan
jatuh cinta, maka dari itu, kami menikmati hidup dengan sahabat dulu aja. Kami
yakin kok, Tuhan sudah merencanakan hal yang lebih baik dari ini J. Setelah kita
puas jalan-jalan mengitari mall, kamipun memutuskan untuk makan siang.
“Eh,
Nis. Kamu masih sayang nggak sih sama si Rangga?” tanya Dinda sambil menikmati
makanan resto di dalam mall.
“Ah,
kamu ini apaan deh, hmmm, liat aja mata aku. Hehe.” jawabku.
“Woy!!!
Kalian ini malah bahas pacar lagi pacar lagi, udah ah, nikmati aja hidup kita
lagi apa adanya. Iya gak Cha?” tegas Pita.
“Yuhuuu…”
ujar Dinda.
Tak
terasa waktu sudah mulai larut malam, kami berempatpun saking asyiknya
berjalan-jalan, handphone Cacha
berbunyi. “Eh guys, bentar ya, Mamaku telfon nih….
Iya Ma, ada
apa?,
kata Cacha dalam telfon sambil menjauh dari kami bertiga dan mengobrol dengan
Mamanya yang katanya telfon.
Tak
lamapun Cacha kembali,
“Udah
malam nih, pulang yuks. Aku udah disuruh pulang Mamaku.” ajak Cacha.
“Iya
cabiii….” serentak kami bertiga sambil menyubit pipinya yang cabi seperti
bakpaw. Kamipun meninggalkan tempat tersebut dengan segera.
___
Sesampainya
dirumah, akupun berusaha mendorong pintu utama dengan penuh lelah karena hampir
seharian main sama temen-temen dan aku langsung masuk ke dalam rumah. Disitu,
hanya aku lihat dua orang pembantu yang ada dirumah, yakni Bi Iyem, ia sesosok
pembantu lama dirumah ini dan sekaligus yang merawatku sejak aku kecil dan
memang usianya sudah tua melebihi usia Ibu dan satunya lagi, Mbak Mar sesosok
pembantu yang kerjaannya bersih-bersih rumahku ya bisa dibilang masih satu
saudara sama Bi Iyem ya seperti Bi Iyem itu Bibinya Mbak Mar. Mereka sedang bersantai
di sofa ruang tengah.
“Eh
Non Nisa. Sudah pulang Non?” tanya Bi Iyem.
“Iya.
Ayah sama Ibu belum pulang, Bi?” tanyaku kembali.
“Belum
Non, yaudah mendingan sekarang Non Nisa makan malam aja dulu, tadi sudah saya
masakin makanan kesukaan Non Nisa.” ujar Mbak Mar selagi menawarkan makanan
kepadaku.
Akupun
langsung meninggalkan mereka menuju kamar, iya walaupun segalanya aku punya,
orang tuaku pun juga tidak mengalami broken home, tapi aku punya satu
kekurangan, ya, kasih sayang dan perhatian dari mereka berdua. Hampir setiap
hari aku selalu ditinggalkannya, entah urusan kantor ataupun segala macam yang
harus memisahkanku dengan orangtuaku. Akupun hanya bisa menahan tangis batin,
udah aku juga sekarang sendirian, tapi akunya nggak apa apa kok, aku masih ada sahabat yang masih selalu ada disaat
aku senang maupun sedih. Malam inipun lagi dan lagi aku mengingat kenangan
bersamanya. Dan itu semua yang membuatku tak bisa melupakannya, ya mungkin
karena aku merindukannya. Jam berdetak telah menunjukkan pukul 2.00 wib. Akupun
belum juga terlelap dalam tidur, aku tak tahu harus berbuat apa selain menatap
langit-langit atap kamarku. Tak sadarpun aku terlelap dengan sendirinya.
___
“Kriiing… Kriiing…”, begitupun bunyi jam
beker kamarku, yang berupaya membangunkanku. Kulihat sejenak dan kumatikan
tombol otomatis bunyi jam itu. “Tok… Tok… Tok…”, pintu kamarkupun terketuk oleh
seorang yang mungkin berusaha membangunkanku juga. Hmmm.
*Ceklekkk…
(suara pintu kamarku yang sedang dibuka seseorang)
“Nak,
ayo bangun, sudah jam setengah7 ini, kau tidak sekolah?” suara Ayah terdengar
olehku, sejenak kubuka selimut yang menutupi seluruh badanku,
“Iiih,
gak mau sekolah ah, Nisa masih ngantuk.” jawabku sambil kututup kembali badanku
dengan selimut.
“Yaudah
kalo tidak mau sekolah.” jawab Ayah sambil berjalan keluar dari kamarku.
“Ayah
memang nggak sayang lagi sama Nisa, nyatanya aja, aku manja-manja gini dia
nggak merespon, yang ada malah ditinggal pergi. Hmmm.” gerutuku dalam hati.
Terpaksa
aku harus cepat-cepat mandi dengan kemauan sendiri, habis itu Ayah sama Ibu mau
aku tes lagi kasih sayang mereka berdua. 15menit kemudian, aku selesai mandi dan
langsung menuju meja makan, disitu aku lihat Ibu hanya membuatkan dua helai
roti yang ditumpuk untuk Ayah, sedangkan aku hanya bisa jengkel melihatnya
sambil meminum susu yang sudah dipersiapkan.
“Loh
Bu, Nisa ngga dibuatkan roti?” tanyaku sambil merengek.
“Katanya
nggak mau berangkat sekolah?” ejek Ayah.
“Ayah…
apaan deh.” jawabku simple.
“Oh
iya Ibu lupa, sebentar ya Nisa. Masa sih Yah, Nisa ngomong gitu” jawab Ibu
dengan nada menyindir.
“Iya
tuh Bu, gak tau kesambet apa sekarang kok malah udah mandi gini, dandan cantik
lagi.” ejek Ayah kembali.
“Hmmm.
Ayaaah… Gak usah deh Bu, Nisa sarapan disekolah aja ini udah mau jam7.” jawabku
sambil berpamitan kepada Ayah dan Ibu, Assalamualaikum.
“Masa
cuman sarapan anaknya aja lupa gitu ih, keterlaluan. Huh… Tapi asyik juga kalo
ejek-ejekan kayak tadi, sayangnya jarang pake
banget hal ini terjadi” kesalku sambil berjalan menuju pintu untuk segera
berangkat sekolah.
___
Sesmpainya
di sekolah, pas jam7 bel berbunyi, hingga saatnya aku tak sempat untuk sarapan.
Aduh, bakalan keroncongan nih ni perut, gerutuku dalam hati sambil berjalan
menuju kelas. Di kelaspun aku hanya diam,
“Kamu
kenapa Nis?” tanya Pita yang kebetulan duduk didepanku.
“Aku
belum sarapan, Pit.” tadi mau kekantin, belnya udah bunyi.
Tiba-tiba…
“Bonjour….”
sapa guru Bahasa Perancis itu sambil masuk kelas.
“Bonjour
Madamme.” jawab murid kelas.
Setelah
lama mengikuti pelajaran, akhirnyapun bel istirahat berbunyi, dan parahnya
lagi, pelajaran tadi aku sampai tidak tau materi apa yang dibicarakan, aku
langsung menggeret Pita kekantin
untuk menemaniku makan.
“Iiih,
Nisaaa. Pelan-pelan kenapa sih?” rengek Pita.
“Pita,
ntar kantinnya keburu rame.” jawabku santai.
Akhirnya….
“Kamu
mau makan apa Pit? Aku yang bayar deeeh.” tawarku.
“Emmm,
soto aja deh.” jawab Pita simple.
“Bu,
Soto dua ya.”….
“Hei…”
gebrakan meja membuatku dan Pita sedikit kaget, ternyata Cacha.
“Kamu
ini ngaget-ngagetin aku aja ih.,
kataku sambil manyun.
“Yeee,
salah siapa kalian ninggal duluan.” jawab Dinda.
“Hmmm,
yaudah maaf deh, udah cepet sana kalian pesen apa, aku yang bayar kok, tenang,
hehe.” kataku.
“Waaah,
beneran Nis? Tumbenan?” ledek Cacha.
“ihh,
la mau enggak? Udah sana sama pesen jus jambunya ya, empat, tadi aku sama Pita
lupa pesen minum.” jawabku.
“Ok…”.
___
Bel pulang sekolahpun terdengar oleh semua
siswa. Mereka senang jika bel berbunyi dan akhirnya mereka bebas melakukan
aktifitasnya diluar sekolah. Aku hari ini pun tidak tau harus melakukan apa,
aku melamun sejanak di depan kelas.
“Hei… Melamun aja kamu nih, kesambet loooh.”
tangan Pita yang menepuk pundakku membangunkan lamunanku.
“Oh, enggak kok, enggak apa apa.” jawabku
sambil tersenyum tipis.
“Oh iya Nis, aku sama Cacha dan Dinda mau main
kerumahmu, boleh nggak?” tanya Pita.
“Ya ampun, kayak sama siapa aja gak boleh, ya
boleh lah, kecuali kalo kamu buronan, baru enggak boleh.” ejekku.
“Yeee, enak aja. Yaudah yuk, tuh Cacha sama
Dinda udah nunggu di gerbang.” ajak Pita.
“Iya miss centil.”.
Sesampainya di di depan gerbang, aku dan tiga
orang temanku langsung bergegas cari taxi untuk angkutan kami menuju rumahku.
Tak lama menunggu, kami menyegat taxi
dan akhirnya dapet.
15menitpun terlampaui untuk sampai dirumahku.
Kami langsung masuk kedalam rumah, dan…
“Assalamualaikum…” salamku.
“Eh Nis, kok sepi sih? Aneh.” tanya Dinda.
“Eh iya nih pada kemana juga ini orang, yaudah
yuk masuk, lagian udah biasa kok rumah sepi apalagi tanpa orang tuaku.” jawabku
sambil mengajak mereka bertiga menuju kamarku.
Tiba-tiba…
Happy Birthday Nisa
Happy Birthday Nisa
Happy Birthday Nisa
Happy Birthday, Happy Birthday
Happy Birthday Nisa
Yeaaa.
“Happy Birthday ya Nak, semoga kamu lebih sabar
dalam menjalani hidup ini, semakin dewasa, semakin cantik, dan tentunya
prestasinya juga harus nambah dong.” ucapan dari Ibu terucap dari mulutnya
sambil mencium kening dan kedua pipiku.
Ucapan
selamat terucap juga dari Ayah, sahabat-sahabatku, dan tentunya kedua pembantu
yang ada dirumahku. Aku sangat bahagia dan tentunya terkejut. Dan parahnya lagi
aku tidak ingat bahwasanya hari ini ulang tahunku. Sekali lagi terimakasih
Tuhan. Acara selanjutnya pun makan-makan di ruang makan, disitu aku sempat
bertanya sama Ayah dan Ibu.
“Yah, Bu, Nisa boleh tanya sesuatu sama
kalian?”, tanyaku pelan.
“Ya boleh lah sayang. Mau tanya apa?”, jawab
Ayah.
“Kenapa sih, Nisa selalu ditinggal sendirian
dirumah sama Ayah dan Ibu buat acara kantor lah ini lah itu lah, pokoknya Nisa
tuh ngerasa kesepian banget.”, ucapku.
“Sayaaang, anak Ibu yang cantik, Ayah sama Ibu
tinggalin kamu kan juga buat kamu, buat makan, buat sekolah. Tapi nyatanya
ulang tahun kamu, Ayah sama Ibu ijin kok demi kamu. J” jawab Ibu sambil menampakkan senyumnya.
“Iya sih, tapi kan…”,
“Terus kamu enggak anggap kita nih Nis. Kita
kan selalu siap temenin kamu dimanapun saat kapanpun.” ucapku terpotong oleh
kata Cacha.
“Nah tuh, kamu punya banyak orang yang sayang
sama kamu, iya kan?” sambung Ayah.
“Tapi ada yang kurang L”
jawabku lirih.
“Aku juga sayang kok Nis sama kamu.” suara itu…
ya, Rangga.
“Walaupun kita gak satu lagi, tapi aku masih
tetep kok sayang sama kamu.” lanjutnya.
“Ciyeeeeeh…” ledek Pita dengan ketawa uniknya.
“Dan aku tahu sekarang, bahwasanya cinta itu
tidak harus dimiliki dan memiliki. Dan rasa sayang tidak hanya dikasih ataupun
dipunyai oleh pasangan kita aja, tapi orang tua, sahabat dan lingkungan sekitar
kita pun sayang sama kita.” tegasku sambil berdiri menghampiri Rangga.
“Iya Nisa.” sambung Rangga.
“Aku sayang sama Ibu, sama Ayah, sama Pita,
Cacha, Dinda, dan kamu… Rangga.” jawabku kembali dengan setetes air mata keluar
dari kelopak mataku.
“Aku juga sayang kok sama kamu, MISS LOLA.”
serentak suara sahabat-sahabatku sambil ketawa bahagia.
Dan inilah kehidupan yang kuinginkan,
kudambakan sejak dulu. Tapi ternyata, aku labil, aku salah pengertian, aku
salah menyalahkan keadaan. Seharusnya dari awal aku tahu bahwa “Rasa Sayang”
bukan hanya dikala kita membutuhkan, tapi dikala kita jauhpun kita masih
mempunyai rasa sayang itu kepada siapapun. Aku bersyukur punya orang tua
seperti Ayah dan Ibu, walaupun mereka sibuk dengan urusannya, tapi mereka tak
pernah lupa saat-saat bahagiaku. Aku juga senang punya sahabat-sahabat yang sedia
menghiburku, memotivasiku, menyemangatiku, saat kapanpun itu. Dan aku juga
bersyukur pernah memiliki Rangga, yang kasih sayangnya begitu tulus, walaupun
kami tak bersama-sama kembali. And that “I Want a Great Affection from Them”.
__THE
END__
Tidak ada komentar :
Posting Komentar