I Believe That You Always Protect Me - Allah

Sabtu, 16 November 2013

Cerpenku


I Want…

Malam yang sunyi ini, menyertai tangisku didalam kesedihan yang melandaku. Kekasih yang dulunya aku cintai, lagi dan lagi menyakiti perasaanku. Sejenak ku berfikir, akankah ku harus membalas kesalahannya terhadapku, ataukah ku harus menduakan cintanya, agar aku lega telah membalas kesalahannya? Tapi, disisi lain, aku masih mempercayai, bahwa hukum karma itu berlaku bagi siapapun. Hal ini yang membuatku harus berfikir dua kali. Bahkan sesering kali, aku melihat lampu layar di handphone ku. Yang biasanya selalu hidup pertanda ada pesan darinya yang ikut meramaikan aktifitasku. Akan tetapi, mungkin malam ini dan seterusnya aktifitasku akan selalu ditemani oleh hembusan angin malam dan pesan-pesan dari sahabat-sahabatku yang tidak ada hentinya mensupportku setelah aku dan dia sepakat mengakhiri hubungan yang telah lama dibina itu.
___
Pagi hari ini, mentari menyongsong kearah fentilasi yang ada dikamarku. Jam menunjukkan pukul 7.00 yang harus mengingatkanku untuk segera bergegas bangun dari bed kamarku. Mata sembab dan rambut yang berantakan. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badan, tissue yang berserakan di lantai kamarku belum juga aku bersihkan. Hari ini hari Minggu, aku hanya disiapkan sarapan di meja makan dan tulisan note kecil bertuliskan
Nisa, maaf Ayah dan Ibu harus segera ke luar kota sekarang. Itu sudah ada makanan di meja, jangan lupa buat sarapan.
Akupun langsung meletakkan selembar kertas itu di atas meja lagi dan langsung menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh Ibu. Handphone ku berbunyi, pesan masuk dari Cacha salah satu dari sahabatku,
Sa, jalan-jalan yuk. Iya itung-itung refreshing aja. Kita main sama Pita sama Dinda kok. Aku tunggu di taman deket komplekmu jam 8 ya? Sampai ketemu nanti.
Akupun tersenyum dan terharu melihat sahabat-sahabatku begitu menyayangiku, memperhatikanku  disaat aku lagi terpuruk seperti ini. Akupun bergegas mengembalikan piring ke dapur dan langsung bersiap-siap untuk jalan-jalan sama mereka bertiga.
___
Aku berjalan kaki menuju taman dekat komplek yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Dengan perasaan sedih, tetapi aku akan tetap menampakkan senyumku didepan mereka. Kulihat seorang gadis melambaikan tangannya ke arahku, iya, sosok miss cabi Cacha namanya. Dia menyambutku dengan senyum manisnya.
“Hei…” sapaku.
“Udah lama nunggu kamu?” lanjutku.
“Oh, enggak kok, aku juga barusan sampe. Kamu apa kabar? Baik kan?” jawabnya.
Akupun tersenyum menatapnya lalu menundukkan kepalaku dan setengah mengangguk.
 “Kamu… habis nangis ya Nis? Mata kamu kelihatan bengkak. Ada apa lagi sih? Kok enggak cerita?” ujarnya sambil mengangkat daguku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum, tapi kali ini aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca menahan tangisku. Tak lama kemudian, Pita dan Dinda pun datang dengan keceriaan mereka.
Bonjour  miss cabi sama miss lola?” sapa Pita dengan ketawa uniknya.
“Heiiih, miss centil nih kebiasaan deh, ngomong pake ketawa segala.” timbrung Dinda.
“Yaudah yuk, kita berangkat sekarang aja, ntar keburu siang, jadi panas deh. Hehe.” ajakku kepada mereka, iya trikku saja buat menghambat sebelum air mataku jatuh didepan mereka, dan aku pikir nanti ada saat tersendiri untuk cerita ke mereka.
“Yoi miss lola.” jawab Dinda.
Kami jalan-jalan tak punya arah, akhirnya kami memutuskan untuk mampir ke sebuah café untuk bersantai dan beristirahat sejenak.
“Kamu mau pesen apa Nis?” tanya Pita.
“Coklat panas aja deh.” jawabku.
“Yaudah mbak, Coklat panasnya empat ya?” pesan Pita kepada pelayan.
Sambil menunggu pesanan datang, kami berempatpun hanya diam. Tiba-tiba…
“Eh, Nis. Kamu kenapa? Kok kayaknya galau gitu.” suara Dinda memulai pembicaraannya.
“Heeei, iya, kamu tadi belum sempat cerita kan Nis. Ayolah sekarang cerita.” timbrung Cacha.
“Emmm, aku kangen sama Rangga.” jawabku pelan.
“W-H-A-T???” kaget mereka bertiga.
“Ih, apaan deh, kalian ini lebay semua. Udah nih, pesanan datang. Makasih ya mbak?” ucapku.
“Hmmm, yaudah deh. Kangen itu wajar, apalagi perhatian dia kekamu dulu, pasti itu salah satu faktornya. Tapi mau gimana lagi, dia lebih mentingin gebetannya.” jawab Cacha dengan tegasnya.
“Iya, kan masih ada kita-kita, iya nggak?” sambung Pita.
“Iya, walaupun kita berempat jomblo semua, tapi bagi kita, jomblo bukan berarti gak laku. Iya kannn?” sambung Cacha kembali.
“Eh, ngomong-ngomong, kenapa panas-panas gini, kita pesan coklat panas ya? Hahaha.” canda Dinda.
“Namanya juga lagi galau, Din. Salah pesan lah, gapapa, lagian ini udah agak dingin kok.” jawabku.
Hahahahahahaha, canda kita berempat seakan menghilangkan rasa galau yang kualami, ya bukan aku lagi sih, tapi kita berempat. Hehe.
Tak terasa langit mulai tambah memanas, dan ini saatnya kita shopping, ya itung-itung ngadem didalam mall, walaupun dompet kembang kempis ataupun cuman beli secangkir es aja. Haha. Di dalam mall pun, kami melihat banyak kaum Adam disana. Tapi kami masih trauma dan takut akan jatuh cinta, maka dari itu, kami menikmati hidup dengan sahabat dulu aja. Kami yakin kok, Tuhan sudah merencanakan hal yang lebih baik dari ini J. Setelah kita puas jalan-jalan mengitari mall, kamipun memutuskan untuk makan siang.
“Eh, Nis. Kamu masih sayang nggak sih sama si Rangga?” tanya Dinda sambil menikmati makanan resto di dalam mall.
“Ah, kamu ini apaan deh, hmmm, liat aja mata aku. Hehe.” jawabku.
“Woy!!! Kalian ini malah bahas pacar lagi pacar lagi, udah ah, nikmati aja hidup kita lagi apa adanya. Iya gak Cha?” tegas Pita.
“Yuhuuu…” ujar Dinda.
Tak terasa waktu sudah mulai larut malam, kami berempatpun saking asyiknya berjalan-jalan, handphone Cacha berbunyi. “Eh guys, bentar ya, Mamaku telfon nih….
Iya Ma, ada apa?, kata Cacha dalam telfon sambil menjauh dari kami bertiga dan mengobrol dengan Mamanya yang katanya telfon.
Tak lamapun Cacha kembali,
“Udah malam nih, pulang yuks. Aku udah disuruh pulang Mamaku.” ajak Cacha.
“Iya cabiii….” serentak kami bertiga sambil menyubit pipinya yang cabi seperti bakpaw. Kamipun meninggalkan tempat tersebut dengan segera.
___
Sesampainya dirumah, akupun berusaha mendorong pintu utama dengan penuh lelah karena hampir seharian main sama temen-temen dan aku langsung masuk ke dalam rumah. Disitu, hanya aku lihat dua orang pembantu yang ada dirumah, yakni Bi Iyem, ia sesosok pembantu lama dirumah ini dan sekaligus yang merawatku sejak aku kecil dan memang usianya sudah tua melebihi usia Ibu dan satunya lagi, Mbak Mar sesosok pembantu yang kerjaannya bersih-bersih rumahku ya bisa dibilang masih satu saudara sama Bi Iyem ya seperti Bi Iyem itu Bibinya Mbak Mar. Mereka sedang bersantai di sofa ruang tengah.
“Eh Non Nisa. Sudah pulang Non?” tanya Bi Iyem.
“Iya. Ayah sama Ibu belum pulang, Bi?” tanyaku kembali.
“Belum Non, yaudah mendingan sekarang Non Nisa makan malam aja dulu, tadi sudah saya masakin makanan kesukaan Non Nisa.” ujar Mbak Mar selagi menawarkan makanan kepadaku.
Akupun langsung meninggalkan mereka menuju kamar, iya walaupun segalanya aku punya, orang tuaku pun juga tidak mengalami broken home, tapi aku punya satu kekurangan, ya, kasih sayang dan perhatian dari mereka berdua. Hampir setiap hari aku selalu ditinggalkannya, entah urusan kantor ataupun segala macam yang harus memisahkanku dengan orangtuaku. Akupun hanya bisa menahan tangis batin, udah aku juga sekarang sendirian, tapi akunya nggak apa apa kok, aku masih ada sahabat yang masih selalu ada disaat aku senang maupun sedih. Malam inipun lagi dan lagi aku mengingat kenangan bersamanya. Dan itu semua yang membuatku tak bisa melupakannya, ya mungkin karena aku merindukannya. Jam berdetak telah menunjukkan pukul 2.00 wib. Akupun belum juga terlelap dalam tidur, aku tak tahu harus berbuat apa selain menatap langit-langit atap kamarku. Tak sadarpun aku terlelap dengan sendirinya.
___
Kriiing… Kriiing…”, begitupun bunyi jam beker kamarku, yang berupaya membangunkanku. Kulihat sejenak dan kumatikan tombol otomatis bunyi jam itu. “Tok… Tok… Tok…”, pintu kamarkupun terketuk oleh seorang yang mungkin berusaha membangunkanku juga. Hmmm.
*Ceklekkk… (suara pintu kamarku yang sedang dibuka seseorang)
“Nak, ayo bangun, sudah jam setengah7 ini, kau tidak sekolah?” suara Ayah terdengar olehku, sejenak kubuka selimut yang menutupi seluruh badanku,
“Iiih, gak mau sekolah ah, Nisa masih ngantuk.” jawabku sambil kututup kembali badanku dengan selimut.
“Yaudah kalo tidak mau sekolah.” jawab Ayah sambil berjalan keluar dari kamarku.
“Ayah memang nggak sayang lagi sama Nisa, nyatanya aja, aku manja-manja gini dia nggak merespon, yang ada malah ditinggal pergi. Hmmm.” gerutuku dalam hati.
Terpaksa aku harus cepat-cepat mandi dengan kemauan sendiri, habis itu Ayah sama Ibu mau aku tes lagi kasih sayang mereka berdua. 15menit kemudian, aku selesai mandi dan langsung menuju meja makan, disitu aku lihat Ibu hanya membuatkan dua helai roti yang ditumpuk untuk Ayah, sedangkan aku hanya bisa jengkel melihatnya sambil meminum susu yang sudah dipersiapkan.
“Loh Bu, Nisa ngga dibuatkan roti?” tanyaku sambil merengek.
“Katanya nggak mau berangkat sekolah?” ejek Ayah.
“Ayah… apaan deh.” jawabku simple.
“Oh iya Ibu lupa, sebentar ya Nisa. Masa sih Yah, Nisa ngomong gitu” jawab Ibu dengan nada menyindir.
“Iya tuh Bu, gak tau kesambet apa sekarang kok malah udah mandi gini, dandan cantik lagi.” ejek Ayah kembali.
“Hmmm. Ayaaah… Gak usah deh Bu, Nisa sarapan disekolah aja ini udah mau jam7.” jawabku sambil berpamitan kepada Ayah dan Ibu, Assalamualaikum.
“Masa cuman sarapan anaknya aja lupa gitu ih, keterlaluan. Huh… Tapi asyik juga kalo ejek-ejekan kayak tadi, sayangnya jarang pake banget hal ini terjadi” kesalku sambil berjalan menuju pintu untuk segera berangkat sekolah.
___
Sesmpainya di sekolah, pas jam7 bel berbunyi, hingga saatnya aku tak sempat untuk sarapan. Aduh, bakalan keroncongan nih ni perut, gerutuku dalam hati sambil berjalan menuju kelas. Di kelaspun aku hanya diam,
“Kamu kenapa Nis?” tanya Pita yang kebetulan duduk didepanku.
“Aku belum sarapan, Pit.” tadi mau kekantin, belnya udah bunyi.
Tiba-tiba…
“Bonjour….” sapa guru Bahasa Perancis itu sambil masuk kelas.
“Bonjour Madamme.” jawab murid kelas.
Setelah lama mengikuti pelajaran, akhirnyapun bel istirahat berbunyi, dan parahnya lagi, pelajaran tadi aku sampai tidak tau materi apa yang dibicarakan, aku langsung menggeret Pita kekantin untuk menemaniku makan.
“Iiih, Nisaaa. Pelan-pelan kenapa sih?” rengek Pita.
“Pita, ntar kantinnya keburu rame.” jawabku santai.
Akhirnya….
“Kamu mau makan apa Pit? Aku yang bayar deeeh.” tawarku.
“Emmm, soto aja deh.” jawab Pita simple.
“Bu, Soto dua ya.”….
“Hei…” gebrakan meja membuatku dan Pita sedikit kaget, ternyata Cacha.
“Kamu ini ngaget-ngagetin aku aja ih., kataku sambil manyun.
“Yeee, salah siapa kalian ninggal duluan.” jawab Dinda.
“Hmmm, yaudah maaf deh, udah cepet sana kalian pesen apa, aku yang bayar kok, tenang, hehe.” kataku.
“Waaah, beneran Nis? Tumbenan?” ledek Cacha.
“ihh, la mau enggak? Udah sana sama pesen jus jambunya ya, empat, tadi aku sama Pita lupa pesen minum.” jawabku.
“Ok…”.
___
Bel pulang sekolahpun terdengar oleh semua siswa. Mereka senang jika bel berbunyi dan akhirnya mereka bebas melakukan aktifitasnya diluar sekolah. Aku hari ini pun tidak tau harus melakukan apa, aku melamun sejanak di depan kelas.
“Hei… Melamun aja kamu nih, kesambet loooh.” tangan Pita yang menepuk pundakku membangunkan lamunanku.
“Oh, enggak kok, enggak apa apa.” jawabku sambil tersenyum tipis.
“Oh iya Nis, aku sama Cacha dan Dinda mau main kerumahmu, boleh nggak?” tanya Pita.
“Ya ampun, kayak sama siapa aja gak boleh, ya boleh lah, kecuali kalo kamu buronan, baru enggak boleh.” ejekku.
“Yeee, enak aja. Yaudah yuk, tuh Cacha sama Dinda udah nunggu di gerbang.” ajak Pita.
“Iya miss centil.”.
Sesampainya di di depan gerbang, aku dan tiga orang temanku langsung bergegas cari taxi untuk angkutan kami menuju rumahku. Tak lama menunggu, kami menyegat taxi dan akhirnya dapet.
15menitpun terlampaui untuk sampai dirumahku. Kami langsung masuk kedalam rumah, dan…
“Assalamualaikum…” salamku.
“Eh Nis, kok sepi sih? Aneh.” tanya Dinda.
“Eh iya nih pada kemana juga ini orang, yaudah yuk masuk, lagian udah biasa kok rumah sepi apalagi tanpa orang tuaku.” jawabku sambil mengajak mereka bertiga menuju kamarku.
Tiba-tiba…
Happy Birthday Nisa
Happy Birthday Nisa
Happy Birthday Nisa
Happy Birthday, Happy Birthday
Happy Birthday Nisa
Yeaaa.
“Happy Birthday ya Nak, semoga kamu lebih sabar dalam menjalani hidup ini, semakin dewasa, semakin cantik, dan tentunya prestasinya juga harus nambah dong.” ucapan dari Ibu terucap dari mulutnya sambil mencium kening dan kedua pipiku.
          Ucapan selamat terucap juga dari Ayah, sahabat-sahabatku, dan tentunya kedua pembantu yang ada dirumahku. Aku sangat bahagia dan tentunya terkejut. Dan parahnya lagi aku tidak ingat bahwasanya hari ini ulang tahunku. Sekali lagi terimakasih Tuhan. Acara selanjutnya pun makan-makan di ruang makan, disitu aku sempat bertanya sama Ayah dan Ibu.
“Yah, Bu, Nisa boleh tanya sesuatu sama kalian?”, tanyaku pelan.
“Ya boleh lah sayang. Mau tanya apa?”, jawab Ayah.
“Kenapa sih, Nisa selalu ditinggal sendirian dirumah sama Ayah dan Ibu buat acara kantor lah ini lah itu lah, pokoknya Nisa tuh ngerasa kesepian banget.”, ucapku.
“Sayaaang, anak Ibu yang cantik, Ayah sama Ibu tinggalin kamu kan juga buat kamu, buat makan, buat sekolah. Tapi nyatanya ulang tahun kamu, Ayah sama Ibu ijin kok demi kamu. J  jawab Ibu sambil menampakkan senyumnya.
“Iya sih, tapi kan…”,
“Terus kamu enggak anggap kita nih Nis. Kita kan selalu siap temenin kamu dimanapun saat kapanpun.” ucapku terpotong oleh kata Cacha.
“Nah tuh, kamu punya banyak orang yang sayang sama kamu, iya kan?” sambung Ayah.
“Tapi ada yang kurang L” jawabku lirih.
“Aku juga sayang kok Nis sama kamu.” suara itu… ya, Rangga.
“Walaupun kita gak satu lagi, tapi aku masih tetep kok sayang sama kamu.” lanjutnya.
“Ciyeeeeeh…” ledek Pita dengan ketawa uniknya.
“Dan aku tahu sekarang, bahwasanya cinta itu tidak harus dimiliki dan memiliki. Dan rasa sayang tidak hanya dikasih ataupun dipunyai oleh pasangan kita aja, tapi orang tua, sahabat dan lingkungan sekitar kita pun sayang sama kita.” tegasku sambil berdiri menghampiri Rangga.
“Iya Nisa.” sambung Rangga.
“Aku sayang sama Ibu, sama Ayah, sama Pita, Cacha, Dinda, dan kamu… Rangga.” jawabku kembali dengan setetes air mata keluar dari kelopak mataku.
“Aku juga sayang kok sama kamu, MISS LOLA.” serentak suara sahabat-sahabatku sambil ketawa bahagia.
Dan inilah kehidupan yang kuinginkan, kudambakan sejak dulu. Tapi ternyata, aku labil, aku salah pengertian, aku salah menyalahkan keadaan. Seharusnya dari awal aku tahu bahwa “Rasa Sayang” bukan hanya dikala kita membutuhkan, tapi dikala kita jauhpun kita masih mempunyai rasa sayang itu kepada siapapun. Aku bersyukur punya orang tua seperti Ayah dan Ibu, walaupun mereka sibuk dengan urusannya, tapi mereka tak pernah lupa saat-saat bahagiaku. Aku juga senang punya sahabat-sahabat yang sedia menghiburku, memotivasiku, menyemangatiku, saat kapanpun itu. Dan aku juga bersyukur pernah memiliki Rangga, yang kasih sayangnya begitu tulus, walaupun kami tak bersama-sama kembali. And that “I Want a Great Affection from Them”.

__THE END__

Tidak ada komentar :

Posting Komentar